Selasa, 13 Juni 2017

Sosok Laki-Laki Yang Kebanyakan Cuek Bukan Berarty Dia Tak Menyayangimu

Sosok Laki-Laki Yang Kebanyakan Cuek Bukan Berarty Dia Tak Menyayangimu

Sosok laki-laki identik dengan sifat dasar mereka sebagimana yang diungkapkan oleh para psikologi dan ahli sifat manusia, yaitu cuek, mengutamakan logika, praktis, harga diri, berpikir masa akan datang, menaklukkan, mengutamakan hasil dan berpikir global. Namun kumpulan sifat ini, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya memang diciptakan agar kelak bisa menjadi pemimpin. Minimal menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. Allah Ta’ala berfirman :


 ,الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa’: 34)

Salah satu sifat yang kita sorot disini adalah cuek. Mungkin sesama laki-laki tidak terlalu bisa melihat kontrasnya sifat ini. Karena jelas, mereka sama-sama cuek. Bisa kita lihat jika kita masuk ke asrama atau wiswa laki-laki, maka pandangan tidak biasa di mata wanita akan nampak, seperti lantai yang setengah bersih, panci kotor diatas kompor, handuk di atas kursi dan sepatu dengan kaos kaki berserakan di depan pintu. Tetapi para laki-laki sepertinya santai saja dan sudah biasa yang seperti ini.
Bagi yang sudah berumah tangga, maka mereka bisa melihat bagaimana protes para istri terhadap sikap cuek para suami, mulai dari tidur mendengkur tengah malam di saat anak bangun menangis. Cuek dengan curhat para istri dengan berkata, “sudah, ga apa-apa; sudah, tenang aja; wah kayak gini gampang”. Dan umumnya cuek dengan penampilan dirinya. Padahal wanita sangat jauh dari sikap cuek alias sensitif dan perhiasannya adalah perhatian.
Yang lebih kita sorot lagi adalah cuek terhadap penampilannya. Jangan salahkan sepenuhnya para istri jika mereka menyambut para suami yang pulang dengan baju lusuh, agak bau dapur dan tidak berhias. Lha wong suami kalau di rumah juga biasanya sarungan plus kaos putih lusuh kayak penjual-penjual di pinggir jalan, rambut jarang disisir, pakai parfum hanya keluar rumah saja. Dan yang kurang adil adalah suami jarang membelikan istri pakaian yang bagus-bagus, pakaian dengan mode terkini dan pakaian yang [maaf] agak menggoda serta jarang membelikan parfum pilihannya buat istrinya. Tentu dengan catatan dipakai di rumah untuk dipersembahkan bagi para suami mereka.

 

Solusi bersama

Mudahan dengan mengerti sifat dasar laki-laki ini wanita bisa lebih bijaksana menyikapi dan laki-laki juga lebih bijaksana memperbaiki dan begitu juga sebaliknya. Solusi dari itu semua adalah komunikasi dan keterbukaan. Dalam hal ini laki-laki lebih banyak memegang kunci, karena laki-laki lebih diberi ketenangan dengan kecuekannya dalam menghadapi permasalahan. Laki-laki yang lebih dulu mengajak untuk bermusyawarah kecil. Musyawarahkanlah apa yang diinginkan suami dan apa yang diinginkan istri dan apa yang diperlu sama-sama diperbaiki serta apa-apa yang masih bisa ditolerir dan mentok sudah tidak bisa ditolerir lagi. Allah Ta’ala berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya” [Ali-Imran : 159]
Dan merupakan kebiasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan istri beliau, saling curhat dan bertukar pikiran. Kita lihat contoh ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan wahyu pertama kali dan pulang ke rumah istri beliau khadijah radhiallahu ‘anha dengan hati yang bergetar bercampur rasa takut, kemudian beliau meminta diselimuti dan berkata,

لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah radhiallahu ‘anha pun menghibur suaminya,

كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq.”[1]
Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan perkataan Khadijah yang sangat menghibur suaminya,

(قال العلماء رضي الله عنهم معنى كلام خديجة رضي الله عنها إنك لا يصيبك مكروه لما جعل الله فيك من مكارم الأخلاق وكرم الشمائل
“Para ulama radhiallahu ‘anhum berkata, “Makna dari ucapan Khadijah radhiallahu ‘anha ini adalah engkau tidak akan ditimpa perkara yang jelek /tidak disukai karena Allah menjadikan pada dirimu akhlak yang mulia dan perangai yang utama.”[2]
Begitu juga curhat beliau kepada kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha  mengenai para Sahabat yang belum mau menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut ketika mereka tidak jadi melakukan haji tahun tersebut karena perjanjian dengan musyrikin Mekkah. Kemudian istrinya berkata,

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَتُحِبُّ ذلِكَ؟ اُخْرُجْ، ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُو حَالِقَكَ فَيحْلِقَكَ
“Wahai Nabiullah! Apakah engkau ingin mereka melakukan apa yang engkau perintahkan? Keluarlah, lalu jangan engkau mengajak bicara seorang pun dari mereka hingga engkau menyembelih sembelihanmu dan engkau memanggil tukang cukurmu lalu ia mencukur rambutmu.”[3]
Maka para sabahat langsung mengikuti beliau.

Kebiasaan bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur. Saling berbagi, saling curhat dan mencari solusi bersama.
Kami sebutkan salah satu contoh saja dari sekian banyak contoh, yaitu kisah abu dan ummu Zar’ merupakan kisah yang panjang diceritakan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan dengan seksama dan memberikan beberapa komentar mengenai kehangatan dan romantisme kisah mereka. Beliau berkata.
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,

كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ
“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai”[4]
kemudian Aisyah radhiallahu ‘anha membalas dengan romanntis lagi,

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’”[5]
Semoga kita bisa menerapkannya, karena memang menerapkan tidak semudah teori.
Demikian semoga bermanfaat
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

Jumat, 04 Maret 2016

Makalah Pengantar Studi Islam



 

MAKALAH

PENGANTAR STUDI ISLAM

 

DISUSUN OLEH :
MANSUR
SHOLIHIN
M. BADRUN
PUTRI HANA WAHYUNI
MUTIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HAMIDIYAH
BANGKALAN
2015


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul “METODOLOGI STUDI ISLAM.”Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam makalah ini saya membahas tentang pengertian hak, pengetian kewajiban, pengertian warga negara, asas kewarganegaraan dan hak kewajiban semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.




Kelompok I



BANGKALAN, 18 Februari 2015


DAFTAR ISI
Halaman Sampul…………………………………………………………………………………….I
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………II
Daftar Isi………………………………………………………………………………………….….III
 BAB I Pendahuluan
A.      Latar Belakang…………………….…………………………………………………………….…..1
B.      Rumusan Masalah………………………………………………………………………….……....1
C.      Tujuan……………………………………………………………………….1
BAB II Pembahasan
A.  Pengantar studi islam………………………………….……………………………………….…..1
B. Batasan studi islam………...……………………………….….….………………………………….2
C. Sejarah tradisi studi islam………………………….………………….3
D.  Ruang lingkup studi islam…………………………………………….4
BAB III Penutup
A.      Kesimpulan………………………………………………………………9
B.      Saran………………………………………………………………….9
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………10



BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
        Sebagai agama, islam adalah ajaran monoteisme yang luhur, tetapi sebagai system social, islam telah gagal total, islam membiarkan wanita dalam posisi serba rendah. Ia menyatukan agama dan hokum ke dalam system yang tidak bisa di pisahkan dan tidak bisa di ubah, sehingga tidak elastisitas terhadap system social. Islam mengizinkan perbudakan dan secara umum cenderung tidak toleran dengan agama lain. Islam tidak merangsang pengembangan kekuatan berpikir rasional. Dengan demikian kaum muslim tidak memiliki harapan untuk mengatur diri atau memperbaharui mereka sendiri.
 Pada masyarakat mekanis, semua peran atau fungsi
manusia diturunkan dari satu generasi kepada generasi lainnya dengan mengusahakan agar tidak terjadi perubahan yang drastis. Namun pada masyarakat organis, para manusianya tidak lagi hanya meneruskan sesuatu (perintah, larangan, hukum dan lain-lain) dari generasi sebelumnya tanpa adanya tinjauan kritis. Pada masyarakat ini sikap inovatif menjadi suatu “hambatan” tersendiri bagi pemahaman agama yang menurut Durkheim cenderung kepada sesuatu yang statis dan sulit untuk berubah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Menjelaskan batasan studi islam…..?
2.      Sejarah dan tradisi studi islam…?
3.      Ruang lingkup studi islam..?
C.   Tujuan penulisan
1.      Untuk lebih memahami mengenai Islamic studies
2.      Untuk lebih memahami mengenai tradisi studi islam
3.      Mengetahui ruang lingkup studi islam

BAB II PEMBAHASAN                                                                                                                                                                                                                                                                                         
A.    Pengantar Islamic Studies
             Ketika umat Islam berada dalam problem ketidakberdayaan dan keterbelakangan yang total, hanya satu yang bisa dibanggakan, yaitu teks suci itu. Pilihannya adalah apakah teks suci itu harus ditinggalkan atau bagaimana? Bukankah orang lain bisa bangkit tanpa teks, walaupun sebenarnya modernisme barat pun sebetulnya merujuk pada teks Yunani kuno sebagai acuan pengembangan dan penyesuaiannya.” (Masdar F.Mas’udi)
B.     Batasan studi islam
           Islam sebagai ajaran menjadi topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli pengkaji keislaman). Pendekatan yang dikaji di sini merupakan pendekatan yang telah digunakan oleh para orientalis sebagai outsider (pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan intelektual muslim lebih mengutamakan pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran, masyarakat, dan institusi yang ada di dunia Islam. Kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran dan institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di kalangan akademik dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan fenomena keagamaan yang dikajinya. Sayyed Hossen Nasr mengatakan dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies: Essays on Law and Society, the Sciences, and Philosophy and Sufism : “Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia. Islam lebih jauh lagi merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, meliputi berbagai pengertian dan derajat pelaksanaan.” Berdasarkan paparan di atas, pada dasarnya Islamic studies adalah tradisi kajian Islam yang dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala barat, khususnya dalam lapangan ilmu sosial dan kemanusiaan.
C.    Sejarah Tradisi studi Islam
              Pendidikan Islam pada zaman permulaan Islam dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekkah dipelopori oleh Muadz bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat dipelopori oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash. Tradisi kajian keislaman ala barat berakar pada sejarah yang sangat panjang, paling tidak sejauh hubungan Kristen dengan Islam. Tidak bisa dielakan bahwa sebab utama dari pertumbuhan kajian keislaman itu adalah alasan teologis untuk menunjukan dan mempertahankan keabsahan ajaran Kristen, dibanding dengan Islam. Islamic studies (kajian Islam) mulai berkembang pada abad ke-19 sebagai bagian dari kajian masalah ketimuran. Berdasarkan perkembangan kajian keislaman ala barat dapat diidentifikasikan ke dalam 3 tahap : (1)
tahap teologis, (2) tahap politis, (3) tahap scientific). Kemunculan kajian keislaman dalam tradisi barat dimulai dari kalangan gereja. Kajian keislaman oleh St.John memperlihatkan sikap teologisnya sebagai seorang Kristen yang menganggap Islam sebagai ajaran murtad (Christian heresy), seperti tertulis dalam karyanya yang berjudul The Fount of Knowledge. Tokoh Kristen lainnya yang mendalami kajian keislaman adalah Peter the Venerable dan Robert of Ketton yang menerjemahkan teks-teks al-Qur’an, hadist, sejarah nabi dan manuskrip arab lainnya. Tokoh penting lainnya adalah St.Thomas Aquinas yang mengklasifikasikan dalam ajaran kafir (unbelief ). Memasuki abad ke 12 telah terjadi sedikit perubahan dalam memperkenalkan kajian keislaman yang tidak lagi didominasi pandangan teologis namun pandangan atau dimensi lain. Pada abad
ke-13 karya-karya pemikir Islam seperti filsuf Ibnu Sina telah banyak diterjemahkan dan menjadi rujukan dunia barat. Begitu pula pada abad berikutnya komentar-komentar Ibnu Rusyd tentang pemikiran Aristoteles telah dijadikan rujukan kaum orientalis, bahkan Ibnu Rusyd mendapat julukan “The commentator” atau sang komentator, berkaitan dengan analisa tajamnya terhadap pemikiranAristoteles.


D.    Ruang Lingkup studi Islam
            Pembahasan studi  keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya. Secara material, ruang lingkup kajian keislaman dalam tradisi barat meliputi pembahasanmengenai ajaran, doktrin, pemikiran,teks, sejarah dan institusi keislaman. Pada awalnya ketertarikansarjana barat terhadap pemikiran Islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah negara-negara yang banyak didiami warga muslim, sehingga mau tidak mau mereka harus memahami tentang budaya local. Contoh kasus dapat dilihat pada perang Aceh, dimana Snouck Hurgronje telahmempelajari Islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan di lokasi dengan asumsi ia telah
memahami budaya dan peradaban masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam. Islam dipelajari oleh Hurgronje dari sisi landasan normatif maupun praktik bagi para pemeluknya, kemudian dibuatlah rekomendasi kepada para penguasa colonial untuk
membuat kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Setelah mengalami keterpurukan, dunia Islam mulai bangkit melalui para pembaru yang telah tercerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat Islam mengejar ketertinggalannya dari dunia barat. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir
dari Mesir, menghembuskan ide-ide pembaharuan di dunia Islam. Pemikiran Abduh diilhami oleh pemikiran gurunya, Jamaludin al-Afghani (1838-1897) seorang pemikir di bidang politik. Namun dalam skala global sebenarnya pemikiran para pembaharu Mesir diawali oleh pemikir besar sebelumnya, yaitu Rifa’ah al-Thathawi (1801-1873).
Peran Islam Dalam Kehidupan Manusia Islam sebagai sebuah agama telah memberikan peran yang cukup signifikan, tidak hanya apa yang diajarkan Islam ke seluruh manusia tetapi juga terhadap proses kehidupan dari manusia itu sendiri. Kelompok manusia yang kerap disebut masyarakat, menurut pendapat Emile Durkheim, seorang sosiolog dari Perancis dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
1. Masyarakat mekanis (pra industri);
2. Masyrakat organis (modern).
Pada masyarakat mekanis, semua peran atau fungsi manusia diturunkan dari satu generasi kepada generasi lainnya dengan mengusahakan agar tidak terjadi perubahan yang drastis.  Namun pada masyarakat organis, para manusianya tidak lagi hanya meneruskan sesuatu (perintah, larangan, hukum dan lain-lain) dari generasi sebelumnya tanpa adanya tinjauan kritis. Pada masyarakat ini sikap inovatif menjadi suatu “hambatan” tersendiri bagi pemahaman agama yang menurut Durkheim cenderung kepada sesuatu yang statis dan sulit untuk berubah. Pembagian 2 kategori di atas, setidaknya mewakili pemahaman sempit dan kerdil dari para ilmuwan barat yang justru memandang Islam sebagai suatu agama yang lebih menghendaki adanya “status quo”. Mungkin pemahaman kerdil inilah yang menjadi salah satu alasan dari ungkapan Ernest Renan, 1862 : “Islam merupakan pengingkaran total terhadap Eropa….. Islam merupakan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah bentuk kesederhanaan spirit bangsa Semit (Yahudi) yang mengerikan, membatasi pemikiran manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentiment yang beradab, dan penelitian rasional, untuk membuatnya tetap menghadapi sebuah tautology yang abadi : Tuhan adalah Tuhan”. Hal senada diungkapkan pula oleh Lord Cromer
dalam Modern Egypt : “Sebagai agama Islam adalah ajaran monoteisme yang luhur, tetapi sebagai sebuah sistem sosial, Islam telah gagal total. Islam membiarkan wanitadalam posisi serba rendah. Ia menyatukan agama dan hukum ke dalam sistem yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa diubah, sehingga tidak ada elastisitas terhadap sistem sosial. Islam mengizinkan perbudakan dan secara umum cenderung tidak toleran dengan agama lain. Islam tidak merangsang pengembangan kekuatan berfikir rasional. Dengan
demikian kaum muslim tidak memiliki harapan untuk mengatur diri atau memperbaharui mereka sendiri”. Dua pendapat di atas sesungguhnya adalah sebuah “kenyataan” yang senantiasa diangkat oleh para masyarakat yang anti terhadap Islam. Sebagai muslim, wajib hukumnya bagi kita semua untuk dapat mematahkan anggapan tersebut, tentunya
dengan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional maupun
akademik. Dalam konteks pembahasan peran atau fungsi, maka prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi atau berperan akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain, setiap agama memiliki fungsi. Konsekuensinya, setiap yang tidak berfungsi atau berperan akan hilang atau sirna. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat. Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan larangan untuk melakukan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan meskipun keduanya sangat berbeda. Dalam Surat al Ikhlas disebutkan tentang persoalan ketauhidan :
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ﴿1﴾ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ﴿2﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿3﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ(4)

1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.           
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Sedangkan berkaitan dengan persoalan larangan untuk syirik dapat ditemukan dalam surat Luqman ayat 13
ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻟُﻘْﻤَﺎﻥُ ﻻِﺑْﻨِﻪِ ﻭَﻫُﻮَﻳَﻌِﻈُﻪُ ﻳَﺎﺑُﻨَﻲ
ﻻَﺗُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙَ ﻟَﻈُﻠْﻢٌ ﻋَﻈِﻴْﻢٌ ‏(13 ‏)
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk kepada Tuhan.Dan oleh karenanya manusia dijadikan khalifah di bumi dan seluruh alam ditundukan oleh Allah SWT untuk manusia sebagaimana tercantum dalam surat Ibrahim sebagai berikut :
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽَ ﻭَﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀ
ﻣَﺎﺀً ﻓَﺄَﺧْﺮَﺝَ ﺑِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺜَّﻤَﺮَﺍﺕِ ﺭِﺯْﻗًﺎ ﻟَﻜُﻢْ
ﻭَﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻔُﻠْﻚَ ﻟِﺘَﺠْﺮِﻱَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ
ﺑِﺄَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻷﻧْﻬَﺎﺭَ ‏(٣٢ ‏) ﻭَﺳَﺨَّﺮَ
ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻤَﺮَ ﺩَﺍﺋِﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺳَﺨَّﺮَ
ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞَ ﻭَﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭَ ‏( ٣٣
32. Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu,berlayar  di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Xii. dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya). Firman Allah SWT di atas menunjukan bahwa bumi, langit, laut,  serta segala yang ada di bumi, langit serta laut telah ditundukan oleh Allah SWt untukkepentingan manusia. Dengan demikian apabila manusia tunduk kepada alam, maka sesungguhnya manusia telah menyalahi fungsinya, yakni menyembah atau hanya tunduk kepada Allah SWT. Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hokum alam; dan dari hukum alam ini ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya syirik berarti tunduk kepada alam sehingga akan berakibat lahirnya kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Jadi terdapat hubungan timbal balik antara tauhid dengan dorongan pengembangan ilmu pengetahuan dan juga adanya hubungan timbal balik antara syirik dengan kebodohan. Dengan demikian sumbangan atau peran Islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan prosresif atau inovatif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, memelihara, dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan ilmu dan sains.
Menurut Nurcholis Majid ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaanNya sebagai manifestasi tau penyingkapan tabir akan rahasia Nya. Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda atau rahasia Tuhan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Jagad raya. Untuk dapat menyingkap rahasia Allah SWT melalui tanda ini maka manusia harus menggunakan perangkat berupa ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi atau falak.
2. Manusia. Untuk dapat menyingkap rahasia melalui tanda ini maka manusia nya itu sendiri harus menguasai ilmu yang berkenaan dengan fisik, seperti ilmu biologi, dan kedokteran, serta psikis seperti ilmu psikologi.
3. Wahyu. Untuk menyingkap tabir rahasia melalui tanda ini, maka manusia memunculkan ilmu-ilmu keagamaan seperti ‘ulum al Qur’an, ‘ulum al Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam dan tasawuf. Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap anggapan dari para ilmuwan barat yang cenderung berasumsi bahwa Islam akan sulit diterima pada masyarakat modern (organis). Justru sesungguhnya Islam sangat berhubungan dengan segala aspek perubahan, dalam hal ini perkembangan ilmu pengetahuan. Beberapa contoh konkrit yang dapat dijadikan rujukan bahwa Islam, yang diwakili oleh para pemeluknya (muslim) telah lama bergaul erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti :
1. Ilmu matematika, yang dipelopori oleh al Khawarizmi dengan karyanya ilmu hitung dan aljabar. Nama al Khawarizmi di transfer dalam bahasa latin menjadi algorisme atau algoritme. Selain itu ada juga Umar al Khayam dan al Thusi yang pertama kali
menciptakan serta memperkenalkan angka 0 sejak tahun 873 M dan baru dipergunakan oleh dunia barat pada tahun 1202 M.
2. Astronomi, yang dipelopori oleh Umar al Khayam dan al Farazi. Kalender buatan Umar al Khayam diyakini lebih tepat dibanding dengan kalender buatan Gregorius.
3. Kimia, yang dipelopori oleh Jabir bin Hayyan dan zakaria al Razi yang sering disebut bangsa eropa dengan nama Gaber dan Rhazes.
4. Optik, yang dipelopori oleh Ibnu Haitsam yang mematahkan teori yang dikemukakan oleh Euklid dan Ptolomeus. Kedigjayaan cendikiawan muslim di atas tidak hanya
menjadi kenangan tentang kejayaan Islam di masa lalu. Satu hal yang paling penting adalah pemahaman bahwa Islam identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu agama an sich dengan ilmu non agama, karena pada kenyataannya pada masa lalu tokoh-tokoh ilmuwan Islam adalah mereka yang mafhum tentang ilmu agama..

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang bias, tetapi juga kerangka sosial-politik, pandangan keduniaan dan pandangan hidup yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia.
Islam lebih jauh lagi ,merupakan yang walaupun esensinya bersifa tunggal, meiputi berbagai tingkat pengertian dan derajat pelaksana.
Warisan kolonial tampak kebanyakan pelajaran Islamic studies sehingga dari sudut pandang nilai budaya barat memiliki tekanan yang sangat kuat.
B.     Saran
Agama sesungguhnya mengajarkan ide tentang satu Tuhan yang sesuai dengan kesadaran moral dan rasional manusia
Di kalangan para sarjana muslim sendiri, ada semangat islam ingin di jadikan sebuah kekuatan membangun komonitas Indonesia








DAFTAR PUSTAKA

Metodologi Studi Islam, Dr.Jamali Sahrodi, Pustaka Setia, Bandung 2008.

W.F.S. pickering, Durkheim`s sociologyof religion, London: roudledge and kegan paul, 1984

Ilyas supeno dan m. fauzi, dekonstruksi dan rekontruksi hokum islam. Yogyakarta: gama media, 2002

Moch. Nur ichwan meretas kesarjanaan kritis al-quran teori hermenutika .,Jakarta: TERAJU,2003

 


 Untuk file word silahkan download disini