MAKALAH
PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH
OLEH : HOZEY
STAI AL-HAMIDIYAH SEN ASEN
KONANG BANGKALAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya
panjatkan kepada Allah SWT, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah
inidengan judul “Hak dan Kewajiban Warga Negara.”Makalah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam makalah
ini saya membahas tentang “PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH” semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya
dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
HOZEY
……………………………………….
BANGKALAN, 09
JANUARI 2015
DAFTAR ISI
Halaman
sampul..........................................................................................................................i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………...ii
Daftar
Isi……………………………..……………………………………………………………………………………………iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang……………………………,………………………………………………………1
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………………………………………………….2
C.
Tujuan Penulisan…………………………………………………….2
BAB II Pembahasan
A.
PENGERTIAN OTONOMI
DAERAH………………………………………..2
B.
KONFLIK KRANGKA
TEORI………………………………………………3
C.
PEMAHAMAN KONFLIK DALAM OTONOMI
DAERAH………………………….……7
BAB III Penutup
D.
Kesimpulan……………………………………………………………….……8
E.
Saran……………………………………………………………………….…..…..8
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………….….……..9
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu mendekatkan
pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi
lokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau, ratusan
kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Berdasarkan pada
variasi lokalitas yang sangat beragam itu maka sangat tepat untuk menerapkan
otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah
untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing
masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar daerah
dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Suasana kompetisi dan persaingan
antar daerah di masa lalu hampir tidak dikenal karena semua kebijakan fiskal,
adminsitratif dan politis diatur dari pusat, Jakarta. Hampir tidak ada ruang
bagi eksekutif di daerah untuk menentukan kebijakan sendiri. Bupati atau
walikota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di
daerah akan dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengan
kepentingan politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, eksekutif dan legislatif
daerah pada masa itu hanya jari jari kekuasaan pusat yang berada di daerah.
Harapan normatif yang dilekaktkan kepada DPRD sebagai wakil rakyat kandas
dilumat sistim yang memang dirancang untuk melestarikan status quo autoritarian
di bawah rejim Orde Baru, anggota dan badan legislatif dikooptasi. Perjuangan
reformasi yang kemudian berhasil menumbangkan rejim Orde Baru tahun 1997 sangat
membuka perluang untuk merombak tata pemerintahan yang sentralisitik. Satu
diantara pilarnya reformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.
Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagai konsekuensi
reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomi daerah lebih dilihat
sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagi kekuasaan kepada daerah. Bukan
sebaliknya, sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat
bagi Indonesia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan
keanekaragaman kukltur lokal. Kecurigaan terhadap adanya usaha usaha sengaja
untuk kembali ke sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukan
revisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU Otda No.32/2004, yang sering dikaitkan dengan
bentuk ketidakrelaan pusat membiarkan daerah mengatur dirinya sendiri. Formula
UU Pemda ini juga banyak mengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme
pemilihan kepala daerah yang tertuang dalam PP 06/2005. Penulis dalam buku ini
mengemukakan tiga tema sentral yang berkaitan langsung dengan otonomi:
pemahaman dasar tentang otonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik
konflik di masa desentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan
banyak membantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami persoalan persoalan
otonomi yang semakin hari justru semakin komplek. Apapun kelemahan yang
terdapat dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka perlu
digarisbawahi bahwa demokrasiti rakyat di daerah dan peningkatan kesejahteraan
bukanlah sebuah proses instant seperti kita memesan makan cepat saji. Demokrasi
adalah proses yang panjang dan berkelanjutan. Dan kita saat ini sedang
melakukannya. Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada saudara Pheni
Chalid, Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, di Kemitraan, yang
masih sempat meluangkan waktu untuk menulis di sela sela kesibukan rutin.
Semoga buku ini bermanfaat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui apa itu otonomi daerah
2. Menjelaskan konflik yang ada pada
otonomi daerah
3. Ruang lingkup otonomi daerah
C. tujuan penulisan
1. agar mengetahui tentang otonomi
daerah
2. mengkaji lebih dalam tentang otonomi
daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTAN OTONOMI DAERAH
Setiap perubahan tentu akan membawa
pergeseran atau apa yang disebut dengan transisi. Sebuah perubahan adakalanya
berdampak positif membawa kemajuan dalam masyarakat atau sebaliknya sebuah
perubahan berdampak negatif, menarik masyarakat ke dalam kondisi yang lebih
buruk. Penerapan otonomi daerah yang mendesentralisasi kewenangan kekuasaan, telah
membawa perubahan yang besar dalam sistem sosial-politik di tingkat lokal.
Otonomi dinilai sebagai jalan keluar bagi ketidakadilan pembangunan yang
dialami daerah akibat sistem pemerintahan yang sentralistis yang hampir selalu
mengutamakan kepentingan elite di pusat dalam pengambilan kebijakan. Apapun
perubahan yang dilakukan akan selalu bersifat bersifat tentatif yang melahirkan
berbagai kemungkinan perubahan. Otonomi daerah mulai dilaksanakan pada saat
kentalnya semangat sentralistik dikalangan birokrat Orde Baru dan hampir di
semua instansi mengacu pada kekuasaan pusat. Maka tidaklah heran, jika
pelaksanaan otonomi daerah mengundang banyak pertanyaan skeptis. Apakah
desentralisasi yang merupakan bagian dari proses demokratisasi di tingkat lokal
akan berjalan produktif bagi kesejahteraan masyarakat dalam masa transisi ini?
Sejauhmana transisi dapat dianggap telah selesai? Hal ini berarti bahwa apakah
demokrasi di tingkat lokal telah terkonsolidasi dengan baik di masa otonomi
daerah? Apakah otonomi akan dapat menjadi problem solving bagi permalahan sosial, politik dan ekonomi
di daerah atau sebaliknya, akan mengundang konflik lebih tajam dalam
masyarakat? Demokrasi bertujuan menciptakan tertib sosial dan politik dalam
masyarakat. Demokrasi membuka peluang adanya perbedaan pendapat untuk mencapai
sebuah konsensus. Pengelolaan perbedaan menjadi sebuah konsensus tergantung
kepadakematangan masyarakat mengapresiasi perbedaan pendapat. Dalam masyarakat
yang memiliki kultur homogen perbedaan akan mudah dikelola dan dicarikan
pemecahannya, sehingga tecipta sebuah konsensus. Adapun dalam masyarakat yang
memiliki kultur heterogen, sebuah konsensus akan relatif sulit untuk dicapai,
karena berbagai macam latar belakang kultur, sosial dan politik mewarnai
kepentingan-kepentingan yang muncul ke permukaan. Karena itu, apabila otonomi
daerah dilihat sebagai proses demokratisasi, maka ia seharusnya dapat dijadikan
sebagai wahana bagi pengelolaan konflik yang ada, seperti konflik vertikal
antara pusat dan daerah, antara rakyat dengan negara, atau konflik horisontal
antar kelompok dalam masyarakat. Menarik untuk dikemukakan disini tulisan Ivan
A Hadar dalam artikelnya, ‘Demokratisasi Lewat Konflik(?)’, Kompas 20 Agustus 2001. Ia menulis bahwa konflik
merupakan indikator penting untuk mengenali keniscayaan guna melakukan
perombakan hubungan antar individu dan komunitas serta perubahan permanen
kebutuhan para aktornya. Dalam konteks ini konflik bekerja sebagai proses
integratif bagi pembentukan masyarakat. Yang menyebabkan konflik berkembang
destruktif bukanlah bersumber dari konflik itu sendiri, tetapi bentuk
pengejawantahannya, dan seringkali cara penyelesaiannya. Ketika konflik
semata-mata ditujukan untuk ‘kemenangan’ (demi pembenaran dan mempertahankan
kekuasaan), maka segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. Konflik akan
selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan
masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan
konflik. Belajar dari konflik yang kemudian disadari menghasilkan kerugian para
pihak akan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya adalah
mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks demikian, konflik
didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik, tetapi merupakan sesuatu
yang given dalam interaksi sosial. Malahan konflik menjadi motor pergaulan yang
selalu melahirkan dinamika dalam masyarakat. Bab ini akan membahas konflik
konflik yang terjadi dalam otonomi daerah; Konflik potensial dan
teraktualisasi. Sebelum memasuki pembahasan mengenai bentuk-bentuk konflik
dalam otonomi, akan dibahas secara singkat mengenai kerangka teori konflik
serta pemahaman konflik dalam otonomi daerah. Masalah konflik dalam otonomi
daerah yang dikemukakan dalam tulisan ini banyak merujuk kepada setting sosial
pada saat diberlakukannya UU 22/1999. Meskipun juga disadari bahwa UU 32/2004
juga telah melahirkan aneka konflik, terutama yang berkaitan dengan pemilihan,
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah.
B. Konflik: Kerangka Teori
Kemunculan konflik tidak dapat dinafikan dan
tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial, apalagi kehidupan politik yang
memang selalu bertaburan konflik. Konflik sangat potensial untuk mendinamisasi
setiap bentuk interaksi. Ia merupakan kenyataan sosial di berbagai tingkatan
struktur, hingga pada tingkatan yang sangat mikro yaitu antar pribadi. Dikenal
beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik sebagai kenyataan
sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan
bahwa munculnya konflik dikarenakan
ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang menciptakan
kelangkaan. Sementara disisi lain, individu bersifat individualis, mementingkan
diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan antara individu
membuka peluang terjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga
membuka kerjasama di antara para pelaku. Damai dengan yang lain menjadi hal
yang esensial dalam mencapai kepentingan dan keuntungan individu. Dalam konteks
ini, sosiolog Gerhard Lenski (1966) mengemukakan teorinya bahwa individu akan
bekerjasama dengan sesamanya untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang,
manakala kondisi memungkan. Namun, apabila kondisi tidak memungkinkan, maka
akan muncul konflik. Selain itu, menurut teori kelangkaan yang merupakan
deviasi dari pemikiran Michael Harner (1970), Morton Fried (1967) dan Lesser
Blumberg (1978), bahwa tekanan penduduk dan kelangkaan lahan untuk produksi
akan menyebabkan konflik, karena tekanan penduduk menyebabkan perbedaan ekses terhadap
sumber daya ekonomi.
Dari paparan teoritis di atas terlihat
bahwa faktor ekonomi menjadi fokus analisis yang dipakai untuk menjelaskan
kemunculan konflik sebagai realitas sosial. Hal ini sejalan dengan perspektif
teoritis yang dikembangkan oleh Marx yang didasarkan atas sistem kepemilikan
dan kelas untuk menjelaskan adanya perbedaan struktur sosial atasbawah yang
menyebabkan pertentangan dalam masyarakat. Atas dasar itu, maka Marx kemudian
membuat dikotomi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Perbedaan akses
terhadap sumber daya ekonomi, sebanding lurus dengan penguasaan terhadap sumber
daya politik. Penguasaan sumberdaya ekonomi oleh kelompok kecil telah
menciptakan struktur kekuasaan yang oleh Marx disebut sebagai struktur
kekuasaan kapitalis1, yang bekerja secara sistematis untuk melayani kepentingan
kelas status quo. Dengan perspektif ini, maka kita dapat mempertanyakan
fungsi negara sebagai entitas pengelola
kekuasaan politik. Para ahli teori kritis menilai bahwa negara tidak lain
sebagai alat dominasi kelas kapitalis yang berfungsi menciptakan dan
memanipulasi simbol-simbol politik sehingga menjadi sistem budaya dan pandangan
hidup pada umumnya. Dengan demikian negara mewakili dan melestarikan
kepentingan pemilik modal daripada membela kepentingan rakyat kelas bawah.
Konflik sebagai kenyataan sosial dapat dikelompokkan ke dalam kategori sifat,
motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya, konflik bersifat laten dan manifes.
Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke dalam dua kategori rasional dan emosional.
Berdasarkan bentuknya, konflik dibedakan menjadi vertikal dan horisontal.
Berikut ini ilustrasi ringkas terhadap aneka konflik itu. Konflik selalu
melibatkan dua pihak yang berlawanan, baik antar pribadi atau antar kelompok
atau antar entitas sosial yang lebih luas. Adakalanya, di satu waktu konflik
melibatkan dua pihak yang memiliki posisi berimbang, dan di lain waktu pihak-pihak yang berkonflik
berada dalam posisi yang tidak berimbang. Konflik menjadi laten ketika
pertentangan dan ketegangan diantara pelaku konflik samar dan tidak jelas,
namun telah ada dalam diri pelaku konflik, seperti penialian negatif terhadap
pihak lain. Penilaian negatif terbentuk adakalanya dikonstruksi melaluiproses
budaya, sehingga menciptakan penilaian stereotip. Seperti peniliaian stereotip
satu etnis tehadap etnis lain. Selain itu, ketika pihak yang merasa tertindas
tidak dapat mengungkapkan protes dan perlawanan, karena berada pada posisi
tawar yang rendah, baik secara kultural maupun struktural, maka konflik
berlangsung secara laten. Konflik laten terjadi secara tidak nyata, namun ia
tidak terselesaikan, sehingga seolah menjadi bom waktu yang tinggal menunggu
waktu untuk meledak. Konflik yang terjadi dalam bentuk manifes dapat terjadi
secara spontan. Sebagai contoh tawuran antara pendukung klub sepakbola yang
berbeda, terjadi secara spontan dan akan selesai dalam jangka waktu saat itu
pula. Namun tidak semua konflik manifes terjadi secara spontan. Konflik
berkembang menjadi manifes, sebelumnya didahului oleh penilaian stereotip dan
adanya ketidakseimbangan dalam masyarakat, seperti perlakuan tidak adil,
ketimpangan sosial, politik dan ekonomi. Konflik yang dipicu oleh adanya
ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi mengandung
perhitungan-perhitungan yang rasional, untung-rugi, menuntut adanya keadilan
distributif. Oleh karena itu langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan
melalui perhitungan-perhitungan rasional. Contoh sederhana sebagai ilustrasi
konflik yang rasional adalah pertentangan mengenai perebutan lahan usaha. Maka
hal tersebut dapat diselesaikan melalui langkah-langkah kompromi antara dua
pihak yang bertikai dengan membagi lahan usaha menurut proporsi yang
disepakati. Namun akan menjadi persoalan
yang krusial, apabila diwarnai oleh kontruksi budaya yang mengakibatkan satu
pihak merasa lebih baik dan pihak lain lebih buruk. Agama atau etnis merupakan
faktor pemicu konflik dalam kategori budaya yang melibatkan ikatan-ikatan
sentimental antar anggota masyarakat. Berdasarkan perspektif utilitirianisme, individu
selalu mempertimbangkan aspek kepentingan pribadinya dalam berhubungan dengan
sesamanya, oleh karena itu ia disebut rasional. Disadari atau tidak disadari,
dirinya selalu akan mempertimbangkan kemungkinan kerjasama apabila mendatangkan
keuntungan. Jadi, dapat dikatakan bahwa kepentingan adalah unsur penting dalam
kehidupan sosial.
Masalahnya, dalam kehidupan sosial selalu
melibatkan kepentingan yang tidak tunggal. Ada berbagai macam kepentingan yang
memunculkan berbagai macam dorongan keinginan. Dapat sama, dapat juga berbeda.
Ibarat mata uang, interaksi sosial antara individu atau kelompok, di satu sisi
akan melahirkan kesepakatan yang bersifat fungsional. Di sisi lain, Interaksi
sosial akan menciptakan ketidaksepakatan dan konflik. Satu kelompok akan
membela sekaligus mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kondisi ini pada
akhirnya menciptakan konfik yang merupakan bagian dari struktur sosial (konflik
struktural). Seperti organisme, sistem sosial tidak selalu bekerja fungsional,
seperti yang dikenal dalam perspektif Parson. Sistem sosial tidak selalu
terintegrasi satu sama lainnya, sebaliknya akan mengalami
kontradiksi-kontradiksi karena adanya perbedaan kepentingan. Adanya kerjasama
dalam masyarakat tidak lantas menggambarkan sebuah sistem sosial yang
terintegrasi. Kontradiksi atau benturan yang terjadi dalam kehidupan sosial
berdampak pada perubahan sistem sosial, masing-masing pihak, individu atau
kelompok, akan berupaya mencari jalan keluar dari konflik. Pada prinsipnya,
dalam diri masyarakat sesungguhnya telah memiliki potensi atau kemampuan untuk
mengelola konflik menjadi suatu hal yang positif dan fungsional. Dinamika
kelompok adakalanya menghadapi ketidakseimbangan distribusi sumber daya.
Ketidakseimbangan sumberdaya terjadi akibat dominasi politik satu kelompok yang
kuat menutup jalan bagi kelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap
sumberdaya yang menjadi kepentingan bersama. Ketidakseimbangan tersebut dalam
proses selanjutnya akan memicu munculnya konflik vertikal. Tumbuhnya kesadaran
terhadap kepentingan akan mendorong sikap mempertanyakan sebab ketidakadilan
dan mulai mengorganisir diri untuk melakukan perlawanan tehadap keberadaan
kelompok dominan, sebagai bentuk protes dan memuntuk pemenuhan hak kolektif.
Apabila bobot dan esklasi konflik atas-bawah ini semakin besar, maka hal
tersebut akan dapat membawa perubahan struktur yang ada. Dalam hidup
bermasyarakat, konflik vertikal kerapkali dipakai untuk menjelaskan konflik
yang terjadi dalam interaksi antara negara dan rakyat. Negara sebagai entitas
politik yang memiliki otoritas dan kewenangan memaksa, tampil secara antagonis
berhadap-hadapan dengan rakyat yang berada dalam hegemoni politik negara.
Konflik dalam kategori ini terjadi secara tidak berimbang dan kerapkali rakyat
sebagai pihak yang dikalahkan atau disalahkan. Karena negara memiliki semua
sumberdaya dan perangkat yang memaksa rakyat mengakui kepentingan negara.
Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran
konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua,
penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik (Stewart, 2005). Perspektif
budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya
perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena
persoalan perbedaan budaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing
kelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budaya yang sama dan
melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan
tentang pendekatan primordial terhadap realitas konflik. Sebagian antropolog
ada yang menerima dan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolak
beralasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankan penjelasan
konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan budaya tidak memasukkan
faktor-faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi. Dalam pandangan
instrumentalis, pemakaian simbol budaya merupakan sarana yang efektif untuk
menjalin ikatan untuk menyatukan kepentingan dan bertindak secara bersama-sama.
Selain itu untuk tujuan politik, baik untuk melakukan mobilisasi massa atau
memecah belah massa, mekanisme penggunaan simbol priomordialisme telah terbukti
cukup berhasil. Seperti biasa dilakukan pemerintahah kolonial Belanda. Dalam
kerangka kontrol politik, mereka biasa melakukan politik pecah belah dengan
menekankan pembedaan indentitas kesukuan. Penjelasan konflik dari sisi ekonomi,
Frances Stewart (2005) mengemukakan empat hipotesis. Hioptesis tersebut oleh
Stewart dipakai untuk menganalisa sebab-sebab peperangan antar negara. Keempat
hipotesis tersebut adalah, i) motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal; ii)
motivasi perorangan; iii) Kontrak sosial yang gagal; iv) hipotesis perang
hijau. Keempat hipotesis tersebut juga dipakai oleh Stewart untuk menjelaskan dari sisi politik. Banyak
studi ekonomi dan politik untuk mempelajari akar masalah konflik memperlihatkan
bahwa motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal menyebabkan pertikaian
antarkelompok. Satu sama lain ingin menunjukkan identintas budaya yang dimiliki
dan dimensi kesenjangan horisontal selalu melibatkan masalah sosial, politik
dan ekonomi. Apabila hal tersebut tercampur dengan kepentingan ekonomi dan
politik, maka akan menyebabkan eskalasi konflik yang lebih besar disertai
dengan tindak kekerasan. Dalam konteks ini Cohen (1974) memberikan
argumentasinya bahwa: “….bukan karena ini saja mereka bertarung (baca: adat
istiadat), Jika orang memang bertarung, di pihak lain, menurut garis suku,
hampir selalu bahwa pertarungan itu untuk memperebutkan hal yang mendasar, menyangkut distribusi
kekuasaan dan penggunaan kekuasaan, apakah kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik
atau kedua-duanya.” Konflik di satu sisi memang menimbulkan dampak destruktif.
Di sisi lain konflik juga dapat memberikan keuntungan bagi individu atau
kelompok tertentu. Dalam konteks ini motivasi perorangan berperan cukup penting
dalam menciptakan konflik. Konflik sengaja dipakai untuk menaikkan posisi tawar
yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi atau politik atau kedua-duanya.
Istilah aktor intelektual, merujuk kepada konteks ini. Seperti konflik antar
suku yang dimotivasi menaikkan seseorang ke tampuk kekuasaan dalam struktur
pemerintahan. Terlepas pendekatan motivasi pribadi atau perorangan kurang dapat
memberikan penjelasan yang memuaskan tentang konflik, namun tidak bisa
dinafikan motivasi perorangan berperan penting dalam konflik. Konflik berarti
pula sebagai bentuk kontrak sosial yang gagal, baik antara suku yang berbeda,
atau antara rakyat dengan negara. Hipotesis Stewart tentang kontrak sosial
bertolak dari pandangan bahwa stabilitas sosial secara implisit berangkat dari
premis bahwa terdapat kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah. Kontrak
sosial tersebut dapat dilihat penerimaan wewenang pemerintah oleh rakyat
sepanjang kewenangan tersebut dipakai untuk memberikan layanan menciptakan
kondisi ekonomi yang kondusif. Tekanan
penduduk, seperti telah dikemukakan di atas, menyebabkan kelangkaan sumberdaya
dan kerusakan lingkungan, dan berdampak menciptakan kemiskinan sebagi bentuk kesenjangan
ekonomi dan politik dalam masyarakat. Pendekatan hipotesis perang hijau
menjelaskan bahwa kekayaan dan kemiskinan mendorong orang untuk bertikai untuk
memperoleh kendali terhadap pemanfaatan lingkungan. Bertolak dari empat
hipotesis di atas, kemudian Stewart memformulasikan resolusi konflik melalui
mekanisme politik yang inklusif dan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif.
Politik inklusif bertujuan mengurangi dominasi politik satu kelompok dan
mendistribusikannya kepada kelompok lain, dengan demikian membuka peluang
partisipasi politik yang luas dari berbagai kelompok atau kalangan yang
berbeda. Model politik inklusif telah diterapkan pada pemerintahan di Afrika
Selatan dalam kepemimpinan Mandela dan Chlili setelah kekuasaan Pinochet
berakhir. Kemudian, bagaimana dengan Indonesia? apakah pasca kejatuhan
Soeharto, naiknya sejumlah tokoh hingga Soesilo Bambang Yudhoyono yang dipilih secara langsung merupakan
manifestasi dari model politik inklusif? Demikian pula dengan implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah apakah merupakan bentuk politik inklusif,
yang dapat mengurangi kesenjangan vertikal dan horisontal? Model kedua resolusi
konflik adalah implementasi sistem sosial dan ekonomi inklusif. Sama halnya
dengan politik inklusif, model ini bertujuan mengurang kesenjangan horisontal.
Kebijakan sosial dan ekonomi inklusif mencakup sektor pemerintah dan sektor
swasta. Dalam sektor pemerintahan, kebijakan yang dikeluarkan diarahkan untuk
mendistribusikan manfaat antarkelompok secara berimbang dalam hal bantuan dan
pemberian layanan umum, seperti mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama,
layanan kesehatan, air dan sanitasi lingkungan, perumahan dan subsidi konsumen.
Dalam sektor swasta, diferensiasi pendapatan dan kesempatan kerja berpotensi
menjadi sumber konflik. Selain itu dalam sektor ini, intervensi kekuasaan
politik, meski tidak kentara, langsung atau tidak langsung turut menciptakan
diferensiasi kelompok. Kebijakan untuk menghilangkan sumber kesenjangan dalam
sektor dan bank harus
memberikan pinjaman yang merata kepada semua kelompok di berbagai tingkatan.
Untuk menghilangkan kesenjangan horisontal, pemerintah dapat melakukan resdistribusi
kekayaan dengan cara membeli property dan membagikannya kepada
kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Dalam konteks ini, tampaknya Stewart
dipengaruhi oleh konsep negara kesejahteraan (welfare state).
C. Pemahamam Konflik dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah lahir atau kembali diterapkan
kembali ke dalam sistem kekuasaan di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan
keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan kepada daerah yang selama masa Orde
Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi daerah ditetapkan melalui UU No.
57 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada daerah tingkat II. Hanya saja, terlihat
bahwa bentuk otonomi yang dijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan
kontrol pusat terhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakan
representasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakan pusat dan
tidak memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara
negara dengan rakyat, birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk
melakukan managing people, mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara (Ndara,1986). Melalui birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai
bentuk aturan yang kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebih
merupakan kepentingan pusat. Masyarakat tidak diberikan ruang berpartisipasi
mengatur apa yang mereka butuhkan dalam bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat
benar-benar diposisikan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Birokrasi telah
kehilangan rasionalitasnya, yang mengharuskannya bersikap obyektif, netral,
dan politik (Ndara, 1986). Usaha Orde
Baru melakukan birokratisasi dan politik korperatif, tidak lepas dari strategi
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan
stabilitas politik sebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yang
efektif untuk menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatisme negara
sendiri sebenarnya memiliki arti ideal sebagai upaya negara membuat segmentasi
masyarakat secara vertikal, mengungkung individu dan kelompok dalam kerangka
struktur yang ditetapkan secara legal yang mendapatkan legitimasi dan
diintegrasikan oleh suatu pusat birokrasi yang tunggal (Kasiepo, 1987). Proses
birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar
kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat,
sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam
masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung
kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak
yang mendukung kebijakannya. Untuk mendukung srategi politik represif dalam
menangani resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen
militer. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga ke
distrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudah memantau dan cepat
dapat menangkap gejala-gejala resistensi dari dalam masyarakat. Usaha
pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, juga dilakukan melalui
strategi ideologis, dengan cara menanamkan pemahaman betapa pentingnya harmoni
dalam masyarakat. Strategi ideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke
dalam apa yang disebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi. Ideologisasi
harmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran dari doktrin agama
maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalam bermasyarakat merupakan cita-cita
luhur yang selalu ditekankan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Proses birokratisasi dan politik korperatif
dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh
teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya
resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan
pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang
sama juga akan merangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya.
B. SARAN
Tekanan penduduk, seperti telah
dikemukakan di atas, menyebabkan kelangkaan sumberdaya dan kerusakan
lingkungan, dan berdampak menciptakan kemiskinan sebagi bentuk kesenjangan
ekonomi dan politik dalam masyarakat. Pendekatan hipotesis perang hijau
menjelaskan bahwa kekayaan dan kemiskinan mendorong orang untuk bertikai untuk
memperoleh kendali terhadap pemanfaatan lingkungan
DAFTAR
PUSTAKA
Elisabeth,
Adriana , dkk, 2004, Pemetaan Peran dan Kepentingan Para Aktor dalam Konflik di Papua, Jakarta, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya
Saing. Fortuna Anwar, Dewi, dkk (ed.) 2005, Konflik Kekerasan Internal,
Tinjauan Sejarah Ekonomi- Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMACNRS dan KITLV. Johnson, Doyle Paul, 1986,
Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta, 1986, Jakarta, PT Gramedia Haba,
John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan Ilegak Logging di Kalimantan Tengah,
Jakarta, LIPI. Kasiepo, Manuel, 1987, Dari Perpolitikan Birokratik ke
Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Jurnal
Ilmu Politik 2, Jakarta Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia (AIPI). Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan Pembangunan, Dominasi
atau Alat Demokratisasi: Suatu Telaah Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1,
Jakarta, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi,
Jakarta, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform
in Indonesia. Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah dalam Perspektif
Lokal, Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur, Jakarta,
Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI.
Untuk File Versi File Word Silahkan Download Disini
Untuk File Versi File Word Silahkan Download Disini