Jumat, 04 Maret 2016

Makalah Permasalahan Otonomi Daerah

Tags



MAKALAH

PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH

 

OLEH : HOZEY




STAI AL-HAMIDIYAH SEN ASEN
 KONANG BANGKALAN


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah inidengan judul “Hak dan Kewajiban Warga Negara.”Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam makalah ini saya membahas tentang “PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH”  semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

HOZEY

……………………………………….


BANGKALAN,  09 JANUARI  2015






DAFTAR ISI
Halaman sampul..........................................................................................................................i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………...ii
Daftar Isi……………………………..……………………………………………………………………………………………iii
 BAB I Pendahuluan
A.      Latar Belakang……………………………,………………………………………………………1
B.      Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………….2
C.      Tujuan Penulisan…………………………………………………….2
BAB II Pembahasan
A.    PENGERTIAN OTONOMI DAERAH………………………………………..2
B.     KONFLIK KRANGKA TEORI………………………………………………3
C.     PEMAHAMAN KONFLIK DALAM OTONOMI DAERAH………………………….……7
BAB III Penutup
D.      Kesimpulan……………………………………………………………….……8
E.       Saran……………………………………………………………………….…..…..8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….….……..9






BAB I PENDAHULUAN
     A.      LATAR BELAKANG
Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi lokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Suasana kompetisi dan persaingan antar daerah di masa lalu hampir tidak dikenal karena semua kebijakan fiskal, adminsitratif dan politis diatur dari pusat, Jakarta. Hampir tidak ada ruang bagi eksekutif di daerah untuk menentukan kebijakan sendiri. Bupati atau walikota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di daerah akan dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengan kepentingan politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, eksekutif dan legislatif daerah pada masa itu hanya jari jari kekuasaan pusat yang berada di daerah. Harapan normatif yang dilekaktkan kepada DPRD sebagai wakil rakyat kandas dilumat sistim yang memang dirancang untuk melestarikan status quo autoritarian di bawah rejim Orde Baru, anggota dan badan legislatif dikooptasi. Perjuangan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkan rejim Orde Baru tahun 1997 sangat membuka perluang untuk merombak tata pemerintahan yang sentralisitik. Satu diantara pilarnya reformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagai konsekuensi reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomi daerah lebih dilihat sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagi kekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya, sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat bagi Indonesia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekaragaman kukltur lokal. Kecurigaan terhadap adanya usaha usaha sengaja untuk kembali ke sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukan revisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU Otda No.32/2004, yang sering dikaitkan dengan bentuk ketidakrelaan pusat membiarkan daerah mengatur dirinya sendiri. Formula UU Pemda ini juga banyak mengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme pemilihan kepala daerah yang tertuang dalam PP 06/2005. Penulis dalam buku ini mengemukakan tiga tema sentral yang berkaitan langsung dengan otonomi: pemahaman dasar tentang otonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik konflik di masa desentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan banyak membantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami persoalan persoalan otonomi yang semakin hari justru semakin komplek. Apapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka perlu digarisbawahi bahwa demokrasiti rakyat di daerah dan peningkatan kesejahteraan bukanlah sebuah proses instant seperti kita memesan makan cepat saji. Demokrasi adalah proses yang panjang dan berkelanjutan. Dan kita saat ini sedang melakukannya. Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada saudara Pheni Chalid, Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, di Kemitraan, yang masih sempat meluangkan waktu untuk menulis di sela sela kesibukan rutin. Semoga buku ini  bermanfaat.
B.      RUMUSAN MASALAH
1.      Mengetahui apa itu otonomi daerah
2.      Menjelaskan konflik yang ada pada otonomi daerah
3.      Ruang lingkup otonomi daerah
    C.     tujuan penulisan
1.      agar mengetahui tentang otonomi daerah
2.      mengkaji lebih dalam tentang otonomi daerah
BAB II PEMBAHASAN
      A.      PENGERTAN OTONOMI DAERAH
Setiap perubahan tentu akan membawa pergeseran atau apa yang disebut dengan transisi. Sebuah perubahan adakalanya berdampak positif membawa kemajuan dalam masyarakat atau sebaliknya sebuah perubahan berdampak negatif, menarik masyarakat ke dalam kondisi yang lebih buruk. Penerapan otonomi daerah yang mendesentralisasi kewenangan kekuasaan, telah membawa perubahan yang besar dalam sistem sosial-politik di tingkat lokal. Otonomi dinilai sebagai jalan keluar bagi ketidakadilan pembangunan yang dialami daerah akibat sistem pemerintahan yang sentralistis yang hampir selalu mengutamakan kepentingan elite di pusat dalam pengambilan kebijakan. Apapun perubahan yang dilakukan akan selalu bersifat bersifat tentatif yang melahirkan berbagai kemungkinan perubahan. Otonomi daerah mulai dilaksanakan pada saat kentalnya semangat sentralistik dikalangan birokrat Orde Baru dan hampir di semua instansi mengacu pada kekuasaan pusat. Maka tidaklah heran, jika pelaksanaan otonomi daerah mengundang banyak pertanyaan skeptis. Apakah desentralisasi yang merupakan bagian dari proses demokratisasi di tingkat lokal akan berjalan produktif bagi kesejahteraan masyarakat dalam masa transisi ini? Sejauhmana transisi dapat dianggap telah selesai? Hal ini berarti bahwa apakah demokrasi di tingkat lokal telah terkonsolidasi dengan baik di masa otonomi daerah? Apakah otonomi akan dapat menjadi problem solving  bagi permalahan sosial, politik dan ekonomi di daerah atau sebaliknya, akan mengundang konflik lebih tajam dalam masyarakat? Demokrasi bertujuan menciptakan tertib sosial dan politik dalam masyarakat. Demokrasi membuka peluang adanya perbedaan pendapat untuk mencapai sebuah konsensus. Pengelolaan perbedaan menjadi sebuah konsensus tergantung kepadakematangan masyarakat mengapresiasi perbedaan pendapat. Dalam masyarakat yang memiliki kultur homogen perbedaan akan mudah dikelola dan dicarikan pemecahannya, sehingga tecipta sebuah konsensus. Adapun dalam masyarakat yang memiliki kultur heterogen, sebuah konsensus akan relatif sulit untuk dicapai, karena berbagai macam latar belakang kultur, sosial dan politik mewarnai kepentingan-kepentingan yang muncul ke permukaan. Karena itu, apabila otonomi daerah dilihat sebagai proses demokratisasi, maka ia seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana bagi pengelolaan konflik yang ada, seperti konflik vertikal antara pusat dan daerah, antara rakyat dengan negara, atau konflik horisontal antar kelompok dalam masyarakat. Menarik untuk dikemukakan disini tulisan Ivan A Hadar dalam artikelnya, ‘Demokratisasi Lewat Konflik(?)’, Kompas  20 Agustus 2001. Ia menulis bahwa konflik merupakan indikator penting untuk mengenali keniscayaan guna melakukan perombakan hubungan antar individu dan komunitas serta perubahan permanen kebutuhan para aktornya. Dalam konteks ini konflik bekerja sebagai proses integratif bagi pembentukan masyarakat. Yang menyebabkan konflik berkembang destruktif bukanlah bersumber dari konflik itu sendiri, tetapi bentuk pengejawantahannya, dan seringkali cara penyelesaiannya. Ketika konflik semata-mata ditujukan untuk ‘kemenangan’ (demi pembenaran dan mempertahankan kekuasaan), maka segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Belajar dari konflik yang kemudian disadari menghasilkan kerugian para pihak akan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya adalah mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik, tetapi merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial. Malahan konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam masyarakat. Bab ini akan membahas konflik konflik yang terjadi dalam otonomi daerah; Konflik potensial dan teraktualisasi. Sebelum memasuki pembahasan mengenai bentuk-bentuk konflik dalam otonomi, akan dibahas secara singkat mengenai kerangka teori konflik serta pemahaman konflik dalam otonomi daerah. Masalah konflik dalam otonomi daerah yang dikemukakan dalam tulisan ini banyak merujuk kepada setting sosial pada saat diberlakukannya UU 22/1999. Meskipun juga disadari bahwa UU 32/2004 juga telah melahirkan aneka konflik, terutama yang berkaitan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah.
   B.    Konflik: Kerangka Teori
 Kemunculan konflik tidak dapat dinafikan dan tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial, apalagi kehidupan politik yang memang selalu bertaburan konflik. Konflik sangat potensial untuk mendinamisasi setiap bentuk interaksi. Ia merupakan kenyataan sosial di berbagai tingkatan struktur, hingga pada tingkatan yang sangat mikro yaitu antar pribadi. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik sebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa  munculnya konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang menciptakan kelangkaan. Sementara disisi lain, individu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang terjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para pelaku. Damai dengan yang lain menjadi hal yang esensial dalam mencapai kepentingan dan keuntungan individu. Dalam konteks ini, sosiolog Gerhard Lenski (1966) mengemukakan teorinya bahwa individu akan bekerjasama dengan sesamanya untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang, manakala kondisi memungkan. Namun, apabila kondisi tidak memungkinkan, maka akan muncul konflik. Selain itu, menurut teori kelangkaan yang merupakan deviasi dari pemikiran Michael Harner (1970), Morton Fried (1967) dan Lesser Blumberg (1978), bahwa tekanan penduduk dan kelangkaan lahan untuk produksi akan menyebabkan konflik, karena tekanan penduduk menyebabkan perbedaan ekses terhadap sumber daya ekonomi.
Dari paparan teoritis di atas terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi fokus analisis yang dipakai untuk menjelaskan kemunculan konflik sebagai realitas sosial. Hal ini sejalan dengan perspektif teoritis yang dikembangkan oleh Marx yang didasarkan atas sistem kepemilikan dan kelas untuk menjelaskan adanya perbedaan struktur sosial atasbawah yang menyebabkan pertentangan dalam masyarakat. Atas dasar itu, maka Marx kemudian membuat dikotomi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi, sebanding lurus dengan penguasaan terhadap sumber daya politik. Penguasaan sumberdaya ekonomi oleh kelompok kecil telah menciptakan struktur kekuasaan yang oleh Marx disebut sebagai struktur kekuasaan kapitalis1, yang bekerja secara sistematis untuk melayani kepentingan kelas status quo. Dengan perspektif ini, maka kita dapat mempertanyakan fungsi  negara sebagai entitas pengelola kekuasaan politik. Para ahli teori kritis menilai bahwa negara tidak lain sebagai alat dominasi kelas kapitalis yang berfungsi menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol politik sehingga menjadi sistem budaya dan pandangan hidup pada umumnya. Dengan demikian negara mewakili dan melestarikan kepentingan pemilik modal daripada membela kepentingan rakyat kelas bawah. Konflik sebagai kenyataan sosial dapat dikelompokkan ke dalam kategori sifat, motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya, konflik bersifat laten dan manifes. Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke dalam dua kategori rasional dan emosional. Berdasarkan bentuknya, konflik dibedakan menjadi vertikal dan horisontal. Berikut ini ilustrasi ringkas terhadap aneka konflik itu. Konflik selalu melibatkan dua pihak yang berlawanan, baik antar pribadi atau antar kelompok atau antar entitas sosial yang lebih luas. Adakalanya, di satu waktu konflik melibatkan dua pihak yang memiliki posisi berimbang, dan  di lain waktu pihak-pihak yang berkonflik berada dalam posisi yang tidak berimbang. Konflik menjadi laten ketika pertentangan dan ketegangan diantara pelaku konflik samar dan tidak jelas, namun telah ada dalam diri pelaku konflik, seperti penialian negatif terhadap pihak lain. Penilaian negatif terbentuk adakalanya dikonstruksi melaluiproses budaya, sehingga menciptakan penilaian stereotip. Seperti peniliaian stereotip satu etnis tehadap etnis lain. Selain itu, ketika pihak yang merasa tertindas tidak dapat mengungkapkan protes dan perlawanan, karena berada pada posisi tawar yang rendah, baik secara kultural maupun struktural, maka konflik berlangsung secara laten. Konflik laten terjadi secara tidak nyata, namun ia tidak terselesaikan, sehingga seolah menjadi bom waktu yang tinggal menunggu waktu untuk meledak. Konflik yang terjadi dalam bentuk manifes dapat terjadi secara spontan. Sebagai contoh tawuran antara pendukung klub sepakbola yang berbeda, terjadi secara spontan dan akan selesai dalam jangka waktu saat itu pula. Namun tidak semua konflik manifes terjadi secara spontan. Konflik berkembang menjadi manifes, sebelumnya didahului oleh penilaian stereotip dan adanya ketidakseimbangan dalam masyarakat, seperti perlakuan tidak adil, ketimpangan sosial, politik dan ekonomi. Konflik yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi mengandung perhitungan-perhitungan yang rasional, untung-rugi, menuntut adanya keadilan distributif. Oleh karena itu langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan melalui perhitungan-perhitungan rasional. Contoh sederhana sebagai ilustrasi konflik yang rasional adalah pertentangan mengenai perebutan lahan usaha. Maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui langkah-langkah kompromi antara dua pihak yang bertikai dengan membagi lahan usaha menurut proporsi yang disepakati.  Namun akan menjadi persoalan yang krusial, apabila diwarnai oleh kontruksi budaya yang mengakibatkan satu pihak merasa lebih baik dan pihak lain lebih buruk. Agama atau etnis merupakan faktor pemicu konflik dalam kategori budaya yang melibatkan ikatan-ikatan sentimental antar anggota masyarakat. Berdasarkan perspektif utilitirianisme, individu selalu mempertimbangkan aspek kepentingan pribadinya dalam berhubungan dengan sesamanya, oleh karena itu ia disebut rasional. Disadari atau tidak disadari, dirinya selalu akan mempertimbangkan kemungkinan kerjasama apabila mendatangkan keuntungan. Jadi, dapat dikatakan bahwa kepentingan adalah unsur penting dalam kehidupan sosial.
Masalahnya, dalam kehidupan sosial selalu melibatkan kepentingan yang tidak tunggal. Ada berbagai macam kepentingan yang memunculkan berbagai macam dorongan keinginan. Dapat sama, dapat juga berbeda. Ibarat mata uang, interaksi sosial antara individu atau kelompok, di satu sisi akan melahirkan kesepakatan yang bersifat fungsional. Di sisi lain, Interaksi sosial akan menciptakan ketidaksepakatan dan konflik. Satu kelompok akan membela sekaligus mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan konfik yang merupakan bagian dari struktur sosial (konflik struktural). Seperti organisme, sistem sosial tidak selalu bekerja fungsional, seperti yang dikenal dalam perspektif Parson. Sistem sosial tidak selalu terintegrasi satu sama lainnya, sebaliknya akan mengalami kontradiksi-kontradiksi karena adanya perbedaan kepentingan. Adanya kerjasama dalam masyarakat tidak lantas menggambarkan sebuah sistem sosial yang terintegrasi. Kontradiksi atau benturan yang terjadi dalam kehidupan sosial berdampak pada perubahan sistem sosial, masing-masing pihak, individu atau kelompok, akan berupaya mencari jalan keluar dari konflik. Pada prinsipnya, dalam diri masyarakat sesungguhnya telah memiliki potensi atau kemampuan untuk mengelola konflik menjadi suatu hal yang positif dan fungsional. Dinamika kelompok adakalanya menghadapi ketidakseimbangan distribusi sumber daya. Ketidakseimbangan sumberdaya terjadi akibat dominasi politik satu kelompok yang kuat menutup jalan bagi kelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang menjadi kepentingan bersama. Ketidakseimbangan tersebut dalam proses selanjutnya akan memicu munculnya konflik vertikal. Tumbuhnya kesadaran terhadap kepentingan akan mendorong sikap mempertanyakan sebab ketidakadilan dan mulai mengorganisir diri untuk melakukan perlawanan tehadap keberadaan kelompok dominan, sebagai bentuk protes dan memuntuk pemenuhan hak kolektif. Apabila bobot dan esklasi konflik atas-bawah ini semakin besar, maka hal tersebut akan dapat membawa perubahan struktur yang ada. Dalam hidup bermasyarakat, konflik vertikal kerapkali dipakai untuk menjelaskan konflik yang terjadi dalam interaksi antara negara dan rakyat. Negara sebagai entitas politik yang memiliki otoritas dan kewenangan memaksa, tampil secara antagonis berhadap-hadapan dengan rakyat yang berada dalam hegemoni politik negara. Konflik dalam kategori ini terjadi secara tidak berimbang dan kerapkali rakyat sebagai pihak yang dikalahkan atau disalahkan. Karena negara memiliki semua sumberdaya dan perangkat yang memaksa rakyat mengakui kepentingan negara. Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik (Stewart, 2005). Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial terhadap realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan budaya tidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi. Dalam pandangan instrumentalis, pemakaian simbol budaya merupakan sarana yang efektif untuk menjalin ikatan untuk menyatukan kepentingan dan bertindak secara bersama-sama. Selain itu untuk tujuan politik, baik untuk melakukan mobilisasi massa atau memecah belah massa, mekanisme penggunaan simbol priomordialisme telah terbukti cukup berhasil. Seperti biasa dilakukan pemerintahah kolonial Belanda. Dalam kerangka kontrol politik, mereka biasa melakukan politik pecah belah dengan menekankan pembedaan indentitas kesukuan. Penjelasan konflik dari sisi ekonomi, Frances Stewart (2005) mengemukakan empat hipotesis. Hioptesis tersebut oleh Stewart dipakai untuk menganalisa sebab-sebab peperangan antar negara. Keempat hipotesis tersebut adalah, i) motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal; ii) motivasi perorangan; iii) Kontrak sosial yang gagal; iv) hipotesis perang hijau. Keempat hipotesis tersebut juga dipakai oleh Stewart  untuk menjelaskan dari sisi politik. Banyak studi ekonomi dan politik untuk mempelajari akar masalah konflik memperlihatkan bahwa motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal menyebabkan pertikaian antarkelompok. Satu sama lain ingin menunjukkan identintas budaya yang dimiliki dan dimensi kesenjangan horisontal selalu melibatkan masalah sosial, politik dan ekonomi. Apabila hal tersebut tercampur dengan kepentingan ekonomi dan politik, maka akan menyebabkan eskalasi konflik yang lebih besar disertai dengan tindak kekerasan. Dalam konteks ini Cohen (1974) memberikan argumentasinya bahwa: “….bukan karena ini saja mereka bertarung (baca: adat istiadat), Jika orang memang bertarung, di pihak lain, menurut garis suku, hampir selalu bahwa pertarungan itu untuk memperebutkan  hal yang mendasar, menyangkut distribusi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan, apakah kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik atau kedua-duanya.” Konflik di satu sisi memang menimbulkan dampak destruktif. Di sisi lain konflik juga dapat memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok tertentu. Dalam konteks ini motivasi perorangan berperan cukup penting dalam menciptakan konflik. Konflik sengaja dipakai untuk menaikkan posisi tawar yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi atau politik atau kedua-duanya. Istilah aktor intelektual, merujuk kepada konteks ini. Seperti konflik antar suku yang dimotivasi menaikkan seseorang ke tampuk kekuasaan dalam struktur pemerintahan. Terlepas pendekatan motivasi pribadi atau perorangan kurang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tentang konflik, namun tidak bisa dinafikan motivasi perorangan berperan penting dalam konflik. Konflik berarti pula sebagai bentuk kontrak sosial yang gagal, baik antara suku yang berbeda, atau antara rakyat dengan negara. Hipotesis Stewart tentang kontrak sosial bertolak dari pandangan bahwa stabilitas sosial secara implisit berangkat dari premis bahwa terdapat kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah. Kontrak sosial tersebut dapat dilihat penerimaan wewenang pemerintah oleh rakyat sepanjang kewenangan tersebut dipakai untuk memberikan layanan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.  Tekanan penduduk, seperti telah dikemukakan di atas, menyebabkan kelangkaan sumberdaya dan kerusakan lingkungan, dan berdampak menciptakan kemiskinan sebagi bentuk kesenjangan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Pendekatan hipotesis perang hijau menjelaskan bahwa kekayaan dan kemiskinan mendorong orang untuk bertikai untuk memperoleh kendali terhadap pemanfaatan lingkungan. Bertolak dari empat hipotesis di atas, kemudian Stewart memformulasikan resolusi konflik melalui mekanisme politik yang inklusif dan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif. Politik inklusif bertujuan mengurangi dominasi politik satu kelompok dan mendistribusikannya kepada kelompok lain, dengan demikian membuka peluang partisipasi politik yang luas dari berbagai kelompok atau kalangan yang berbeda. Model politik inklusif telah diterapkan pada pemerintahan di Afrika Selatan dalam kepemimpinan Mandela dan Chlili setelah kekuasaan Pinochet berakhir. Kemudian, bagaimana dengan Indonesia? apakah pasca kejatuhan Soeharto, naiknya sejumlah tokoh hingga Soesilo Bambang Yudhoyono  yang dipilih secara langsung merupakan manifestasi dari model politik inklusif? Demikian pula dengan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah apakah merupakan bentuk politik inklusif, yang dapat mengurangi kesenjangan vertikal dan horisontal? Model kedua resolusi konflik adalah implementasi sistem sosial dan ekonomi inklusif. Sama halnya dengan politik inklusif, model ini bertujuan mengurang kesenjangan horisontal. Kebijakan sosial dan ekonomi inklusif mencakup sektor pemerintah dan sektor swasta. Dalam sektor pemerintahan, kebijakan yang dikeluarkan diarahkan untuk mendistribusikan manfaat antarkelompok secara berimbang dalam hal bantuan dan pemberian layanan umum, seperti mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, layanan kesehatan, air dan sanitasi lingkungan, perumahan dan subsidi konsumen. Dalam sektor swasta, diferensiasi pendapatan dan kesempatan kerja berpotensi menjadi sumber konflik. Selain itu dalam sektor ini, intervensi kekuasaan politik, meski tidak kentara, langsung atau tidak langsung turut menciptakan diferensiasi kelompok. Kebijakan untuk menghilangkan sumber kesenjangan dalam sektor  dan bank harus memberikan pinjaman yang merata kepada semua kelompok di berbagai tingkatan. Untuk menghilangkan kesenjangan horisontal, pemerintah dapat melakukan resdistribusi kekayaan dengan cara membeli property dan membagikannya kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Dalam konteks ini, tampaknya Stewart dipengaruhi oleh konsep negara kesejahteraan (welfare state).
    C.      Pemahamam Konflik dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah lahir atau kembali diterapkan kembali ke dalam sistem kekuasaan di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan kepada daerah yang selama masa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi daerah ditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada daerah tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk otonomi yang dijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol pusat terhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakan representasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakan pusat dan tidak memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara negara dengan rakyat, birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk melakukan managing people, mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Ndara,1986). Melalui birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai bentuk aturan yang kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebih merupakan kepentingan pusat. Masyarakat tidak diberikan ruang berpartisipasi mengatur apa yang mereka butuhkan dalam bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat benar-benar diposisikan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Birokrasi telah kehilangan rasionalitasnya, yang mengharuskannya bersikap obyektif, netral, dan  politik (Ndara, 1986). Usaha Orde Baru melakukan birokratisasi dan politik korperatif, tidak lepas dari strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan stabilitas politik sebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Karena itu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yang efektif untuk menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatisme negara sendiri sebenarnya memiliki arti ideal sebagai upaya negara membuat segmentasi masyarakat secara vertikal, mengungkung individu dan kelompok dalam kerangka struktur yang ditetapkan secara legal yang mendapatkan legitimasi dan diintegrasikan oleh suatu pusat birokrasi yang tunggal (Kasiepo, 1987). Proses birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya. Untuk mendukung srategi politik represif dalam menangani resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen militer. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga ke distrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudah memantau dan cepat dapat menangkap gejala-gejala resistensi dari dalam masyarakat. Usaha pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, juga dilakukan melalui strategi ideologis, dengan cara menanamkan pemahaman betapa pentingnya harmoni dalam masyarakat. Strategi ideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke dalam apa yang disebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi. Ideologisasi harmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran dari doktrin agama maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalam bermasyarakat merupakan cita-cita luhur yang selalu ditekankan.
BAB III PENUTUP
     A.    KESIMPULAN
Proses birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya.

    B.     SARAN
Tekanan penduduk, seperti telah dikemukakan di atas, menyebabkan kelangkaan sumberdaya dan kerusakan lingkungan, dan berdampak menciptakan kemiskinan sebagi bentuk kesenjangan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Pendekatan hipotesis perang hijau menjelaskan bahwa kekayaan dan kemiskinan mendorong orang untuk bertikai untuk memperoleh kendali terhadap pemanfaatan lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

Elisabeth, Adriana , dkk, 2004, Pemetaan Peran dan Kepentingan Para Aktor dalam  Konflik di Papua, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing. Fortuna Anwar, Dewi, dkk (ed.) 2005, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah Ekonomi- Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMACNRS dan KITLV. Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta, 1986, Jakarta, PT Gramedia Haba, John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan Ilegak Logging di Kalimantan Tengah, Jakarta, LIPI. Kasiepo, Manuel, 1987, Dari Perpolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Jurnal Ilmu Politik 2, Jakarta Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan Pembangunan, Dominasi atau Alat Demokratisasi: Suatu Telaah Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1, Jakarta, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform in Indonesia. Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur, Jakarta, Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI.



Untuk File Versi File Word Silahkan Download Disini